Pendahuluan :Mungkinkah sebuah perpektif gender yang khas laki-laki !!??
Sebagaimana kita ketahui jender per definisi adalah konstruksi sosial budaya yang mengatur perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Sebagai sebuah kontruksi sosial budaya pembedaan peran ini terus berubah secara dinamis dan juga sangat bergantung pada situasi dan kondisi. Dalam kenyataannya pemahaman tentang jender sangat dipengaruhi apa yang kita sebut budaya patriakhi, sehingga dalam relasi dengan perempuan, laki-lakilah yang lebih diuntungkan.
Namun itu bukan berarti pikiran tentang dominasi laki-laki atas perempuan hanya ada dan dimiliki oleh laki-laki. Sebagai kontruksi sosial budaya pikiran ini juga ada, berkembang dan menghegemoni di kalangan perempuan. Itulah sebabnya dalam kasus hubungan laki-laki dan perempuan sering kita jumpai bahwa justru perempuan jugalah yang melecehkan kaumnya sendiri. Misalnya ketika perempuan menjadi korban perkosaan , tidak sedikit perempuan yang juga berpendapat bahwa hal itu terjadi akibat sikap perempuan sendiri yang ‘mengundang’ dan membuka peluang.
Hal ini saya tandaskan kembali karena oleh panitia saya sebenarnya diminta membahas tentang jender dalam perpektif laki-laki. Karena panitia tidak memberikan batasan masalah, saya menduga yang diharapkan adalah adanya sejumlah pandangan tentang jender dari mahluk yang berjenis kelamin laki-laki. Permintaan ini sederhana tapi sebenarnya mustahil.
Berdasarkan definisi diatas , jelas sulit bagi kita untuk mengkonstantir sejumlah pandangan laki-laki tentang jender karena sebenarnya keragaman pandangan laki-laki tentang jender sama luas dan kompleksnya dengan pandangan perempuan tentang jender. Ada laki-laki yang menghargai perempuan, ada laki-laki yang tidak menghargai perempuan. Sebaliknya juga sama. Ada perempuan yang menghargai laki-laki, ada perempuan yang tidak menghargai laki –laki.
Oleh karena itu dengan tidak mengurangi maksud panitia saya sedikit memodifikasi judul yang direkomendasikan. Daripada meniscayakan perpektif jender yang khas laki-laki, saya lebih memilih untuk berbicara tentang perempuan dalam dunia laki-laki. Bagaimana keberadaan perempuan dalam dunia yang disetting untuk laki-laki. Judul ini kiranya memenuhi harapan panitia, karena dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana ideology jender yaitu pemahaman tentang pembedaan peran laki –laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin dengan pola anutan budaya tunggal yaitu budaya patriakhi telah menciptakan ketidakadilan dan disakriminasi jender dalam hubungan laki-laki dan perempuan.
Pembahasan ini diangkat karena seperti implisit dikatakan diatas kami yakin bahwa terjadinya dominasi hubungan laki-laki dan perempuan bukan karena perbedaan jenis kelamin (sex) tetapi karena mengurat akarnya ideology jender yang dipengaruhi budaya patriakhi dalam strukrur, norma dan nilai yang ada dalam masyarakat kita. Budaya yang mengakibatkan timbulnya diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Pengaruh ideology jender bagi ketidakadilan dan diskriminasi jender
Idealnya hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hubungan kemitraan yang sejajar. Yang dimaksud hubungan kemitraan yang sejajar adalah adanya hubungan dimana ada nilai keadilan (eguity) dan kesetaraan (equality) dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi dalam paraktek tidaklah demikian. Perempuan yang hidup dalam dunia laki-laki justru menjadi mahluk yang lebih rentan terhadap perlakuan tidakadil dan tindakan diskriminasi dibandingkan dengan laki-laki. Walaupun dalam relasi dimana terjadi ketidakadilan dan diaskriminasi jender laki-laki juga menjadi korban tetapi secara agregat ketidakadilan dan diskriminasi itu lebih banyak dialami oleh perempuan.
Karena itu berikut ini akan dipaparkan bagaimana dampak dari mengurat akarnya ideology jender dalam konteks budaya patriakhi terhadap perempuan . Adapun dampak-dampak tersebut diantaranya dapat disebut sebagai berikut :
- Marjinalisasi (pemiskinan ) perempuan
Proses marjinalisasi secara umum merupakan suatu proses pemiskinan dalam arti luas karena orang dibatasi aksesnya untuk mengembangkan diri. Misalnya lewat pembuatan sejumlah aturan dan kebijakan yang mematikan akses dan peluang untuk berkembang bagi orang atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Kalau dilihat dari pengertiannya maka sebenarnya baik laki-laki maupun perempuan mengalami marjinalisasi. .
Hanya saja yang patut ditekankan disini karena budaya patriakhi menjadi pola anutan, maka perempuan dalam banyak kasus mengalami marjinalisasi lapis dua. Pertama, perempuan sama halnya dengan laki-laki termajinalisasi karena kondisinya yang miskin misalnya. Kedua, perempuan karena status/jenis kelamin nya sebagai perempuan masih juga mengalami marjinalisasi. Proses marjinalisasi ini bisa dilihat dalam sejumlah kebijakan pembangunan dan peraturan yang tidak sensitive gender dan yang tidak berperspektif jender. Akibatnya perempuan dalam kondisi yang sama dengan laki-laki yang termajinalisasi misalnya harus menerima dampak ganda. Sebagai contoh ketika mekanisasi pertanian diterapkan , buruh tani perempuanlah yang lebih banyak kehilangan akses pekerjaan dan semakin terdomestifikasi dibanding laki-laki karena ketrampilan mereka dianggap tidak lagi diperlukan. Laki-lakilah yang dianggap cakap dan mampu melaksanakan mekanisasi pertanian.
- 2. Sub Ordinasi
Sub ordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa satu jenis kelamin dianggap lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. Laki-laki dalam hal ini lebih unggul dari perempuan. Pada gilirannya anggapan ini menyebabkan laki-laki lebih dihargai bakat dan prestasinya ketimbang perempuan. Apapun yang baik yang dibuat oleh perempuan, dianggap kurang berarti dibanding hal yang sama yang dibuat oleh laki-laki. Akibat pandangan semacam ini maka dalam kenyataan perempuan memerlukan usaha lebih keras dan gigih untuk mendapat penghargaan yang sama dengan laki-laki. Bahkan kadang –kadang meskipun perempuan meskipun karena potensinya misalnya berhasil meraih karier puncak namun sukar sekali mendapat pengakuan sosial atas prestasinya itu. Dalam kasus kepemimpinan perempuan misalnya, masih saja ada laki-laki yang merasa kurang “sreg” dipimpin oleh seorang perempuan. Perempuan yang dianggap sebagai warga kelas dua dinilai kurang mempunyai bakat memimpin disbanding laki-laki.
- Pandangan stereotype
Ekses lain dari mengurat akarnya ideology jender adalah banyaknya pelabelan(pandangan stereotype) terhadap perempuan yang menyebabkan ketidakadilan dan diskriminasi . Misalnya pelabelan perempuan sebagai “ibu rumah tangga “ telah menyebabkan kesulitan tersendiri bagi perempuan yang hendak berkarier di luar rumah. Meskipun sama dengan laki-laki, karena tugas perempuan harus bekerja sampai larut malam, tetapi perempuan yang sering pulang larut malam dianggap tidak wajar, bahkan bisa dicurigai melakukan ‘hal yang tidak benar’. Hal yang sama relatif tidak dialami laki-laki.
Pelabelan yang negatif terhadap perempuan juga menyebabkan dalam banyak hal orang sering memakai standar ganda dalam menilai antara laki-laki dan perempuan. Misalnya perempuan sering dianggap emosional dan mengutamakan intuisi dalam bertindak. Apa yang terjadi ?.Jika laki-laki marah hal itu sering dianggap sebagai ketegasan, sedangkan perempuan marah dianggap sebagai sikap yang tidak dewasa. Kalau laki-laki banyak bicara dianggap tanda kepandaian. Kalau perempuan banyak bicara dianggap cerewet.
- Kekerasan
Kekerasan secara hurufiah berarti serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Tindakan kekerasan dengan demikian dipahami bukan saja sebagai kekerasan fisik tetapi juga non fisik. Demikian pula dampaknya. Sebuah tindakan kekerasan tidak saja berdampak secara fisik tetapi juga secara mental psikologis.
Dalam kaitan dengan ini banyak diakui bahwa perempuanlah yang paling rentan mengalami tindakan kekerasan dibanding laki-laki. Walaupun baik laki-laki maupun perempuan potensial mengalami kekerasan. Dari sejumlah literature dapat disimpulkan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan rupanya terjadi bukan sekedar sebagai sebuah tindakan spontanitas,.tetapi lebih dilatarbelakangi pencitraan perempuan sebagai mahluk lemah dan objek kekerasan yang merupakan dampak ideolog jender. Akibatnya jelas dalam berbagai kasus kekerasan perempuan bukan saja menderita karena kondisi-kondisi umum yang sama dengan laki-laki , tetapi juga karena jenis kelaminnya sebagai perempuan. Misalnya dalam kasus kekerasan yang dilakukan negara di daerah-daerah operasi militer (DOM). Sudah banyak laporan yang menunjukan pada kita bahwa perempuanlah yang paling menderita akibat konflik dan kekerasan yang yang terjadi. Perempuan yang misalnya sudah kehilangan suami dan anak-anak masih harus menjadi budak seks , mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan. Bisa dibayangkan penderitaan yang dialami.
- Beban Kerja
Dari sebuah penelitian yang dilakukan seorang ahli di Amerika ternyata laki-laki dengan karier publik bekerja rata –rata antara 8-9 jam per hari. Sedangkan seorang perempuan yang hanya berkarier sebagai ibu rumah tangga bekerja antara 12-16 jam per hari. Bayangkanlah jika perempuan ini juga harus berkarier di luar rumah. Tentu waktu dan tenaga yang dihabiskan akan lebih banyak.
Hal semacam ini terjadi karena dalam dunia dimana ideology jender masih berurat akar, peran ganda perempuan sulit dihindari. Seorang perempuan yang berkarier diluar rumah pun wajib melakukan tugas-tugas rumahan dan hal itu tidak harus berlaku bagi seorang laki-laki. Akibatnya sangat jelas. Dalam dunia patriakhi dimana peran ganda perempuan masih didewakan maka: pertama, perempuan jelas semakin terdomestifikasi. Waktunya habis untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumahan. Kedua,Bagi perempuan yang berkarier diluar rumah, memilki waktu dan kesempatan lebih sedikit untuk mengembangkan karier sampai ke puncak. Ketiga, perempuan memilki beban pekerjaan yang jauh lebih banyak daripada laki-laki. Ini merupakan dampak adanya pemahaman tentang peran ganda perempuan.
Belum lagi dalam dunia patriakhi biasanya ada pembagian kerja berdasarkan jender atau Gender Division labour (GDL) .Dengan pembagian kerja semacam ini maka pekerjaan-perkerjaan domestik yang umumnya dilakukan perempuan dianggap tidak berharga karena bukan termasuk pekerjaan ‘karier’ sedangkan bagi perempuan yang bekerja diluar rumah dianggap tidak lebih dari pencari nafkah tambahan.
Semua ini tentu menambah dimensi bagi berartnya beban pekerjaan seorang perempuan. Selain perempuan kehilangan akses mengembangkan karier hasil kerjanyapun sering dihargai rendah. Sebagai contoh sederhana bisa disebutkan misalnya masalah yang dihadapi buruh perempuan . Selain mereka punya beban ganda karena harus menanggung pekerjaan di rumah dan di tempat kerja, gaji merekapun rata –rata lebih rendah dari laki-laki. Contoh lain bisa dilihat dari struktur penggajian yang dibuat pemerintah. Perempuan dengan beban kerja yang sama dengan laki-laki tidak mendapat tunjangan suami dan anak-anak sebagaimana diperoleh suami yang bekerja.
Penutup
Dengan mencermati dampak ideology jender dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan, jelas terlihat bahwa baik perempuan maupun laki-laki sebenarnya sama –sama memilki peluang diperlakukan tidak adil . Namun perempuan merupakan mahluk yang paling rentan mengalami berbagai kertidakadilan dan diskriminasi jender. Ini terjadi karena dominasi budaya patriakhi yang berujung pada mengurat akarnya ideology gender dalam semua segi /aspek kehidupan.
Hal ini tentu saja perlu disikapi. Bagaimana membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih adil dan setara dalam dunia yang terlanjur disetting untuk kepentingan laki-laki. Kaitannnya dengan ini menurut saya ada dua hal yang perlu dilakukan:.
Pertama, analisa jender dan sikap sensitive jender harus selaku dipakai dalam menyikapi soal hubungan laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Dengan kemampuan menggunakan pisau analisa jender dan kepekaan melihat persoalan jender maka berbagai ketimpangan yang muncul dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan segera bisa diketahui.
Kedua, Dalam sejarah perjuangan perempuan (sejarah feminisme) sudah lama diakui bahwa pendekatan teori konflik yang mengasumsikan persoalan sebagaimana disebutkan diatas sebagai soal an sich perempuan dan hanya diurus oleh perempuan pada akhirnya tidak akan membawa manfaat. Tindakan affirmativ yang dituntut perempuan untuk menyejajarkan kedudukannya dengan laki-laki tanpa melibatkan laki-laki bahkan menimbulkan anggapan negatif dan sikap penolakan dari laki-laki yang sering disebut sebagai male backlash . Karena itu untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender rupanya sudah saatnya perempuan dan laki-laki duduk bersama untuk membicarakan persoalan mereka. Hanya dengan demikian dapat terwujud apa yang kita citakan sebagai keadilan dan kesetraan jender.
(ditulis oleh Pdt.Besly Y.T.Messakh yang disampaikan dalam pelatihan kepemimpinan wanita bagi organisasi perempuan se kabupaten Rote Ndao yang diselenggarakan oleh Biro Pemberdayaan Perempuan, SETDA Rote Ndao, tanggal 21 Nopember 2005 di Hotel Ricky, Baa -Rote dan dimuat kembali di Majalah Sodamolek edisi Nomor 1 Tahun I/27 Juli 2006)
Daftar bacaan:
- Bunga rampai : Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender bidang kesehatan reproduksi dan kependudukan, Jakarta, UNPFA, Meneg PP, BKKBN, 2001
- Elisabeth. A. Marsiana:”Ketidakadilan gender dalam masyarakat”.
- Delmyser Maka Ndolu: “ Perempuan ditengah pergulatan social tanah air”.
- Agnes Callamard: “ Kekerasan seksual : Dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia oleh pejabat Negara”, Amnesti International.
- Mia A. P Noach: “ Restu sosial Budaya atas kekerasan terhadap perempuan” .
- Sarah Lerry Mbuik: “ Membongkar dominasi Patriakhi dan strategy menuju keadilan gender”.
- Sarah Lerry Mbuik: “ Gender dan kekerasan terhadap perempuan”.
Comment